Putusan MK Soal UU Cipta Kerja: Jalan Panjang Hak Buruh, Prioritas Tenaga Lokal, dan Ancaman Mogok Nasional

Putusan MK soal UU Cipta Kerja memperlihatkan betapa kompleksnya jalan untuk melindungi hak buruh dan memprioritaskan tenaga kerja lokal. Meski ada perbaikan, ancaman mogok nasional oleh jutaan pekerja menunjukkan bahwa ketidakpuasan masih membara.

Putusan MK soal UU Cipta Kerja
Putusan MK soal UU Cipta Kerja/tribunnews

Dailynesia.co – Putusan MK soal UU Cipta Kerja baru-baru ini memunculkan babak baru dalam perjuangan hak buruh di Indonesia.

MK memutuskan mengabulkan sebagian gugatan dari serikat buruh terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengupahan, yang selama ini menjadi tuntutan besar para pekerja.

Putusan ini dipandang sebagai upaya melindungi tenaga kerja dalam negeri, terutama terkait persaingan dengan tenaga kerja asing (TKA) yang dinilai semakin mengancam kesempatan kerja bagi pekerja lokalBuruh dalam Pasal UU Cipta Kerja yang Direvisi.

Baca juga: Rute KRL Jabodetabek 2024: Efisiensi yang Dijanjikan, Kenaikan Tarif yang Mengejutkan

Putusan MK Soal UU Cipta Kerja dan Dampaknya pada Hak Buruh

Putusan MK soal UU Cipta Kerja
Putusan MK soal UU Cipta Kerja/detik

Pada revisi Pasal 88 UU Cipta Kerja, MK menekankan bahwa karyawan swasta berhak atas penghidupan yang layak.

Pengupahan diatur agar sesuai dengan standar hidup layak, termasuk upah minimum, struktur dan skala upah, serta ketentuan pembayaran lembur dan bentuk pembayaran lainnya.

Namun, meski pasal ini terlihat menguntungkan, buruh merasa kebijakan ini masih memberi banyak celah bagi pengusaha untuk menetapkan upah yang lebih rendah dari standar layak.

Baca juga: Gunung Lewotobi Meletus Lagi: Puluhan Korban Jiwa, Ancaman Lahar, dan Proses Evakuasi yang Terus Berlanjut

Priaga Kerja Lokal: Realita atau Hanya Retorika?

Putusan MK soal UU Cipta Kerja juga menekankan pentingnya prioritas terhadap tenaga kerja lokal.

Dalam pasal yang terkait dengan tenaga kerja asing, MK menegaskan bahwa TKA hanya boleh bekerja dengan jabatan tertentu dan dalam jangka waktu yang terbatas, di bawah pengawasan Kementerian Ketenagakerjaan.

Namun, serikat buruh dan sebagian anggota DPR melihat bahwa perlindungan ini perlu diiringi dengan aturan lebih rinci agar tidak disalahgunakan.

Pasalnya, belum ada standar jelas yang mengatur proporsi minimum tenaga kerja lokal di perusahaan, sehingga keutamaan tenaga kerja dalam negeri rawan hanya menjadi retorika.

Leave a Reply