Dailynesia.co – PPN 12% untuk rakyat dan Tax Amnesty untuk tajir adalah dua kebijakan yang menuai kritik tajam karena dianggap menciptakan ketimpangan yang mencolok.
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 akan langsung membebani masyarakat kecil yang sudah tercekik inflasi.
Di sisi lain, wacana PPN 12% untuk rakyat dan Tax Amnesty untuk tajir Jilid III justru memberikan keringanan bagi para konglomerat yang selama ini diduga menghindari pajak.
Ketimpangan ini memunculkan pertanyaan serius: apakah pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat atau hanya memperkuat privilese bagi segelintir elit ekonomi?
Baca juga: Apa Penyebab Bocor Jantung pada bayi pada Bayi? Ketahui 4 Langkah Mencegahnya
Kebijakan Miris PPN 12% untuk Rakyat dan Tax Amnesty
Tarif PPN yang direncanakan naik menjadi 12% dianggap memberatkan, terutama bagi masyarakat kelas bawah yang sudah tercekik inflasi.
Pajak ini berlaku untuk barang dan jasa yang digunakan sehari-hari, mulai dari kebutuhan pokok hingga layanan publik.
Dengan demikian, kenaikan PPN akan berdampak langsung pada daya beli masyarakat.
Ekonom dari Universitas Indonesia, Telisa Aulia Falianty, menyebutkan bahwa daya beli masyarakat sudah menunjukkan pelemahan selama tiga kuartal terakhir.
Tingkat konsumsi rumah tangga, yang menjadi motor utama perekonomian Indonesia, tumbuh stagnan di bawah 5%.
Kenaikan PPN berpotensi memperparah situasi ini, memaksa masyarakat untuk lebih berhemat dan menahan belanja.
Kebijakan ini juga dinilai tidak tepat waktu. Banyak masyarakat yang berada di ambang kemiskinan akibat tekanan ekonomi pasca-pandemi kini terancam turun kelas ekonomi.
Situasi ini menciptakan efek domino yang tidak hanya melemahkan daya beli, tetapi juga memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional secara keseluruhan.
Baca juga: Panduan Kelas Anak Timbangan untuk Kalibrasi: Memahami Standar Akurasi
Tax Amnesty: Privilege untuk Konglomerat?
Di sisi lain, program PPN 12% untuk rakyat dan Tax Amnesty untuk tajir Jilid III menjadi tamparan keras bagi masyarakat yang taat membayar pajak.
Program ini membuka peluang bagi para pengemplang pajak, terutama dari kalangan konglomerat, untuk membersihkan dosa pajak mereka tanpa konsekuensi hukum.
Ekonom Wahyu Widodo dari Universitas Diponegoro menyoroti bahwa kebijakan pengampunan pajak yang dilakukan berulang kali dapat menciptakan preseden buruk bagi sistem perpajakan Indonesia.
Ia menegaskan bahwa PPN 12% untuk rakyat dan Tax Amnesty untuk tajir seharusnya menjadi solusi satu kali, bukan kebiasaan.
Ketika tax amnesty terus dilakukan, moral hazard menjadi ancaman serius karena pelaku pengemplang pajak akan merasa aman dan menunggu amnesti berikutnya.
Data menunjukkan bahwa pada PPN 12% untuk rakyat dan Tax Amnesty untuk tajir Jilid II tahun 2022, sejumlah orang super kaya dengan kekayaan di atas Rp1 triliun mendapat pengampunan pajak.
Hal ini memperlihatkan bahwa program tersebut cenderung menguntungkan segelintir pihak yang berada di strata ekonomi atas.
Padahal, masyarakat kecil yang taat membayar pajak justru harus menanggung beban PPN yang lebih tinggi.
Baca juga: Tips Mengobati Ruam Popok dengan Baby Oil: Solusi Praktis untuk Kulit Sensitif
Ketidakadilan Pajak: Rakyat vs Konglomerat
Perbedaan perlakuan dalam kebijakan pajak ini jelas menimbulkan ketidakadilan yang mencolok.
Sebagian besar beban PPN akan ditanggung oleh rakyat kecil, sementara tax amnesty memberikan jalan keluar mudah bagi para pelaku pengemplangan pajak besar.
Kondisi ini semakin memperlebar jurang ketimpangan sosial antara masyarakat kaya dan miskin.
Presiden KSPI, Said Iqbal, menyebut kebijakan ini sebagai bentuk modernisasi eksploitasi gaya kolonial, di mana rakyat kecil dipaksa menanggung beban demi keuntungan segelintir elit.
Ia juga menyoroti dampak negatif kebijakan ini terhadap redistribusi pendapatan, yang akan memperburuk ketimpangan sosial di Indonesia.
Baca juga: Bekuk Arab, Media Vietnam Tak Ragu Bilang Peluang Indonesia ke Piala Dunia 2026 Terbuka
Dampak Ekonomi yang Mengkhawatirkan
Kenaikan PPN tidak hanya membebani rakyat kecil, tetapi juga mengancam keberlanjutan bisnis kecil dan menengah.
Dengan daya beli yang terus menurun, konsumsi masyarakat akan tertekan, mengakibatkan penurunan permintaan barang dan jasa.
Hal ini berpotensi memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Tax amnesty, di sisi lain, gagal meningkatkan penerimaan pajak negara secara signifikan.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menyebut program pengampunan pajak yang terlalu sering justru menurunkan kepatuhan pajak para konglomerat.
Hal ini terlihat dari rasio pajak yang stagnan, meskipun tax amnesty telah dilakukan beberapa kali.
Bhima menyatakan bahwa kebijakan ini hanya memperlihatkan keberpihakan pemerintah kepada pengusaha besar.
Kombinasi kebijakan PPN 12% dan tax amnesty menunjukkan bahwa pemerintah belum serius mengatasi masalah ketimpangan sosial.
Kebijakan ini memberikan kesan bahwa rakyat kecil hanyalah sapi perah, sementara konglomerat terus menikmati berbagai privilese.
Jika pemerintah tidak segera mengubah pendekatan ini, kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan akan semakin runtuh.