Sebagai salah satu negara penghasil komoditas utama dunia, Indonesia merasakan dampak signifikan dari EUDR.
Industri kelapa sawit, yang menyumbang sekitar 3,5% PDB Indonesia dan mempekerjakan 4,3 juta orang, menjadi yang paling terdampak.
Ekspor minyak sawit mentah (CPO) ke UE berpotensi terhambat, yang akan merugikan perekonomian nasional.
Selain itu, petani kecil yang menyumbang 34% produksi minyak sawit nasional juga terancam.
Mereka kesulitan memenuhi persyaratan EUDR karena keterbatasan sumber daya dan pengetahuan teknis. Jika tidak ada solusi, ribuan petani kecil bisa kehilangan mata pencaharian.
Baca juga: Heboh! 2 Orang Warga Banyuwangi ke Mekkah Bermodal Perahu Rakitan Galon Air Mineral
Upaya Diplomasi Indonesia
Menyadari dampak serius EUDR, Indonesia telah melakukan berbagai upaya diplomasi. Bersama Malaysia, Indonesia membentuk Joint Task Force (JTF) untuk mengatasi tantangan ini. Lima fokus utama JTF meliputi:
- Keterlibatan petani kecil dalam rantai pasok.
- Analisis kesenjangan antara EUDR dengan sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).
- Pengembangan alat ketertelusuran.
- Penyelesaian masalah benchmarking.
- Perlindungan data pribadi.
Indonesia juga bergabung dengan 16 negara lain dalam kelompok like-minded countries untuk menyuarakan keberatan terhadap EUDR.
Dalam surat bersama yang dikirim ke UE, negara-negara ini mendorong dialog yang lebih bermakna dan menghindari gangguan perdagangan yang merugikan.
Baca juga: Aksi Indonesia Gelap: Demi Makan Bergizi Gratis, Makan Disubsidi, Otak Tak Digizi!
Tantangan dan Harapan Pasca EUDR Ditentang Banyak Negara
EUDR Ditentang Banyak Negara karena dianggap tidak adil dan merugikan. Bagi Indonesia, aturan ini bukan hanya tantangan ekonomi, tetapi juga ancaman bagi kesejahteraan petani kecil.
Namun, dengan upaya diplomasi yang intensif dan penguatan sistem sertifikasi nasional seperti ISPO, Indonesia berharap dapat melindungi kepentingan nasional.
Semoga Uni Eropa dapat lebih bijaksana dalam menerapkan EUDR, dengan mempertimbangkan kondisi dan upaya negara-negara produsen.
Kolaborasi, bukan konfrontasi, adalah kunci untuk mencapai tujuan bersama dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan sosial.