Dailynesia.co – Gelombang gagal bayar negara berkembang di ujung tanduk. Saat ini, banyak negara berkembang menghadapi ancaman serius terhadap stabilitas keuangan mereka.
Dengan meningkatnya utang dan biaya pinjaman yang semakin tinggi, tantangan ini menuntut perhatian dan tindakan mendesak.
Tanpa langkah konkret, dampak krisis ini bisa berkepanjangan, mengakibatkan efek domino yang merugikan bagi perekonomian global.
Baca juga: KJP Plus November 2024 Cair Awal Bulan? Bantuan Mulai dari Rp250 Ribu
Faktor Penyebab Krisis Utang Pada Negara Berkembang

Negara-negara berkembang telah menjadi rentan terhadap kegagalan pembayaran utang, dan ada beberapa faktor yang menyebabkannya.
Pandemi COVID-19, yang dimulai pada 2020, memberikan pukulan telak bagi banyak ekonomi, menambah beban utang yang telah ada.
Sebuah laporan dari S&P Global mengungkapkan bahwa dalam satu dekade terakhir, peringkat kredit negara secara keseluruhan telah melemah.
Akibatnya, negara-negara semakin sulit untuk mendapatkan akses ke pembiayaan yang terjangkau.
Selain itu, invasi Rusia ke Ukraina pada tahun 2022 menyebabkan lonjakan harga pangan dan energi, yang memperburuk situasi keuangan di banyak negara.
Gelombang gagal bayar negara berkembang di ujung tanduk ini terindikasi oleh peningkatan ketergantungan negara terhadap pinjaman luar negeri.
Kurangnya kebijakan ekonomi yang stabil dan independensi bank sentral sering kali memperburuk masalah ini.
Baca juga: Jangan Abaikan! Inilah Mengapa Kesehatan Mental Itu Penting untuk Kehidupan Sehari-hari
Dampak Gagal Bayar yang Mengerikan
Ketidakmampuan negara-negara berkembang untuk memenuhi kewajiban utangnya tidak hanya berakibat pada kestabilan ekonomi domestik, tetapi juga dapat mempengaruhi hubungan internasional.
Gagal bayar dapat merusak kepercayaan investor dan menimbulkan kekhawatiran di pasar global.
Sebuah laporan Bank Dunia menegaskan bahwa biaya bunga yang semakin tinggi menjadi tantangan serius bagi negara-negara ini.