Kembali Terpilihnya Puan Sebagai Ketua DPR dan Pertemuan Prabowo-Megawati: Demokrasi atau Dominasi?

Kembali terpilihnya Puan Maharani sebagai Ketua DPR RI periode 2024-2029 bukanlah sebuah kejutan. Namun, apakah ini menandakan ketiadaan oposisi kedepan?

Kembali terpilihnya Puan sebagai Ketua DPR
Kembali Terpilihnya Puan di DPR/Citizen

Dengan konsolidasi kekuatan seperti ini, DPR lebih berisiko menjadi “stempel” bagi kebijakan eksekutif daripada menjadi lembaga yang mandiri dan kritis.

Hal ini bertentangan dengan janji Puan yang menyatakan bahwa DPR akan menampung aspirasi rakyat.

Dalam situasi seperti ini, aspirasi rakyat lebih cenderung diabaikan atau dipolitisasi, daripada benar-benar diakomodasi.

Baca juga: Inggris Resmi Tinggalkan Batu Bara Setelah 140 Tahun: Bagaimana Transisi Energi Hijau Dimulai?

Apa Bahayanya Jika Tidak Ada Oposisi?

Kembali Terpilihnya Puan di DPR
Kembali terpilihnya Puan sebagai Ketua DPR/Indopos

Ketidakberadaan oposisi menimbulkan banyak risiko. Salah satu risiko utamanya adalah tidak adanya pihak yang dapat mengawasi dan mempertanyakan kebijakan pemerintah secara objektif.

Selain itu, tanpa adanya oposisi yang kritis, kebijakan yang dihasilkan cenderung tidak seimbang, cenderung menguntungkan pihak tertentu, dan berisiko mengabaikan kepentingan masyarakat luas.

Lebih jauh lagi, demokrasi yang sehat membutuhkan perbedaan pandangan dan wacana yang beragam.

Namun, dengan semakin melemahnya peran oposisi, Indonesia berisiko mengalami regresi demokrasi.

Hal ini bisa membawa pada situasi di mana rakyat tidak lagi memiliki saluran untuk menyuarakan ketidakpuasan, dan pada akhirnya, masyarakat akan merasa apatis terhadap politik.

Baca juga: Rugi Triliunan! 3.68 Juta Ton Air Kelapa Terbuang, Siapa yang Harus Bertanggung Jawab?

Demokrasi atau Dominasi?

Kembali terpilihnya Puan sebagai Ketua DPR dan pertemuan antara Prabowo dan Megawati memicu kekhawatiran serius tentang masa depan demokrasi di Indonesia.

Tanpa oposisi yang kuat, DPR berisiko kehilangan jati dirinya sebagai lembaga pengawas yang kritis.

Sementara janji untuk menampung aspirasi rakyat disuarakan, kenyataannya, konsolidasi kekuasaan ini bisa membuat suara rakyat tenggelam dalam hegemoni koalisi.

Era baru ini bukan hanya menguji kesetiaan para politisi terhadap rakyat, tetapi juga menjadi ujian besar bagi masa depan demokrasi Indonesia.

Akankah kita memilih demokrasi yang sehat dengan oposisi yang kuat, atau justru terjebak dalam dominasi satu kelompok yang tanpa perlawanan?

Leave a Reply