Data menunjukkan bahwa pada PPN 12% untuk rakyat dan Tax Amnesty untuk tajir Jilid II tahun 2022, sejumlah orang super kaya dengan kekayaan di atas Rp1 triliun mendapat pengampunan pajak.
Hal ini memperlihatkan bahwa program tersebut cenderung menguntungkan segelintir pihak yang berada di strata ekonomi atas.
Padahal, masyarakat kecil yang taat membayar pajak justru harus menanggung beban PPN yang lebih tinggi.
Baca juga: Tips Mengobati Ruam Popok dengan Baby Oil: Solusi Praktis untuk Kulit Sensitif
Ketidakadilan Pajak: Rakyat vs Konglomerat
Perbedaan perlakuan dalam kebijakan pajak ini jelas menimbulkan ketidakadilan yang mencolok.
Sebagian besar beban PPN akan ditanggung oleh rakyat kecil, sementara tax amnesty memberikan jalan keluar mudah bagi para pelaku pengemplangan pajak besar.
Kondisi ini semakin memperlebar jurang ketimpangan sosial antara masyarakat kaya dan miskin.
Presiden KSPI, Said Iqbal, menyebut kebijakan ini sebagai bentuk modernisasi eksploitasi gaya kolonial, di mana rakyat kecil dipaksa menanggung beban demi keuntungan segelintir elit.
Ia juga menyoroti dampak negatif kebijakan ini terhadap redistribusi pendapatan, yang akan memperburuk ketimpangan sosial di Indonesia.
Baca juga: Bekuk Arab, Media Vietnam Tak Ragu Bilang Peluang Indonesia ke Piala Dunia 2026 Terbuka
Dampak Ekonomi yang Mengkhawatirkan
Kenaikan PPN tidak hanya membebani rakyat kecil, tetapi juga mengancam keberlanjutan bisnis kecil dan menengah.
Dengan daya beli yang terus menurun, konsumsi masyarakat akan tertekan, mengakibatkan penurunan permintaan barang dan jasa.
Hal ini berpotensi memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Tax amnesty, di sisi lain, gagal meningkatkan penerimaan pajak negara secara signifikan.
Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, menyebut program pengampunan pajak yang terlalu sering justru menurunkan kepatuhan pajak para konglomerat.
Hal ini terlihat dari rasio pajak yang stagnan, meskipun tax amnesty telah dilakukan beberapa kali.
Bhima menyatakan bahwa kebijakan ini hanya memperlihatkan keberpihakan pemerintah kepada pengusaha besar.
Kombinasi kebijakan PPN 12% dan tax amnesty menunjukkan bahwa pemerintah belum serius mengatasi masalah ketimpangan sosial.
Kebijakan ini memberikan kesan bahwa rakyat kecil hanyalah sapi perah, sementara konglomerat terus menikmati berbagai privilese.
Jika pemerintah tidak segera mengubah pendekatan ini, kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan akan semakin runtuh.