Tangis Kecewa Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan: Restitusi Rp15 Juta, Harga Nyawa Jadi Murah?

Keputusan pengadilan terkait restitusi Tragedi Kanjuruhan memicu amarah keluarga korban. Apakah nyawa manusia sebatas angka di atas kertas? Simak kritik mendalam atas putusan yang dianggap mengabaikan nilai kemanusiaan.

Tangis Kecewa Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan
Tangis Kecewa Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan/detiknews

Dailynesia.co – Tangis kecewa keluarga korban tragedi Kanjuruhan tak hanya kehilangan orang tercinta, tetapi juga merasakan pahitnya ketidakadilan.

Meskipun tragedi itu meninggalkan luka yang tak terhapuskan, rasa kecewa mereka semakin mendalam setelah sidang putusan pada 31 Desember 2024, di mana jumlah restitusi yang diberikan jauh dari yang mereka harapkan.

Baca juga: No Buy Challenge: Cara Efektif Menghentikan Kebiasaan Belanja Berlebihan

Tangis Kecewa Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan

Tangis Kecewa Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan
Tangis Kecewa Keluarga Korban Tragedi Kanjuruhan/Antara

Ruangan sidang Pengadilan Negeri Surabaya yang semula tenang berubah menjadi tempat jeritan hati keluarga korban.

Teriakan kecewa menggema ketika majelis hakim mengumumkan restitusi sebesar Rp1,02 miliar untuk 71 korban, jauh dari tuntutan Rp17,2 miliar yang diajukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Beberapa keluarga bahkan berteriak histeris, mempertanyakan nilai kemanusiaan yang direfleksikan dalam putusan tersebut.

“Tolong, Pak Hakim, ini nyawa manusia, bukan hewan,” seru salah satu keluarga korban, penuh amarah dan tangis kecewa keluarga korban tragedi Kanjuruhan. Beberapa di antaranya bahkan menyerukan banding dengan harapan keadilan yang lebih nyata.

Baca juga: Politikus Paling Tak Dipercaya di Indonesia Menurut Survei Ipsos: Fakta atau Kenyataan Pahit?

Restitusi Rp15 Juta: Harga Nyawa yang Tak Sebanding

Majelis hakim menyatakan bahwa angka restitusi yang ditetapkan, Rp15 juta per korban meninggal dan Rp10 juta per korban luka, telah mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk santunan dari pihak lain seperti Arema FC dan pemerintah.

Namun, keluarga korban menilai keputusan ini tidak adil. Devi Athok, salah satu orang tua korban, menyebut putusan ini sebagai tindakan “bodoh” karena menganggap santunan sebagai pengganti restitusi.

“Seandainya anak hakim yang terbunuh, apakah Rp15 juta cukup menggantikan rasa kehilangan?” tanya Devi dengan nada penuh ironi.

Baca juga: Lika Liku Kehidupan Guru Erlina Siahaan, Penulis Inspiratif Bagi Murid

LPSK dan Keluarga Korban: Menuntut Keadilan Seutuhnya

LPSK, sebagai perwakilan hukum keluarga korban, langsung menyatakan akan mengajukan banding. Menurut mereka, keputusan ini tidak mencerminkan keadilan yang sesungguhnya.

Leave a Reply