Dailynesia.co – Dalam langkah yang mengejutkan, DPR memberikan lampu hijau bagi Prabowo bebas buat Kementerian tanpa batas.
Keputusan ini mengundang banyak kritik dan pertanyaan: Apakah ini keputusan demi kepentingan bangsa, atau sekadar akomodasi politik bagi-bagi jabatan?
Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran atas potensi pembengkakan anggaran dan tumpang tindih kebijakan.
Yang jelas, isu ini bukan hanya soal kebutuhan negara besar, melainkan soal manajemen kepentingan politik yang tak lagi bisa dibiarkan tanpa kontrol.
Baca juga: Penipu NFC Kuras Rekening di ATM, Ini Modus Terbaru Penting Waspadai
Bagi-Bagi Kursi: Praktek Lama, Wajah Baru
Prabowo bebas buat kementerian tanpa batas adalah langkah berani yang diklaim dibutuhkan untuk mengelola negara sebesar Indonesia.
Namun, banyak pihak menilai langkah ini tidak lebih dari upaya bagi-bagi kursi kepada partai pendukungnya.
Dengan dalih negara membutuhkan banyak kementerian, kabinet “jumbo” ini dianggap hanya membuka ruang lebih besar bagi praktik nepotisme dan politik akomodatif yang tak terkendali.
Pembatasan jumlah kementerian yang sebelumnya ada bukan tanpa alasan. Tujuannya jelas, untuk menghindari penguasaan kekuasaan yang berlebihan dan memastikan bahwa setiap kementerian bekerja dengan efektif dan efisien.
Penambahan kementerian tanpa batas hanya akan menciptakan kebingungan birokrasi dan merusak aliran kebijakan publik yang seharusnya jelas dan terstruktur.
Baca juga: Butuh Uang Cepat? 7 Aplikasi Kredit Online Bunga Rendah Terdaftar OJK!
Prabowo Bebas Buat Kementerian Tanpa Batas Berisiko KKN yang Meningkat
Kritik utama terhadap kebijakan Prabowo bebas buat kementerian tanpa batas adalah kekhawatiran bahwa semakin banyak kementerian, semakin besar pula ruang bagi kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).
Dengan penambahan kursi kementerian yang melimpah, tekanan untuk memuaskan semua pihak yang berkontribusi dalam kampanye Prabowo pun meningkat. Ini menciptakan kondisi di mana politik transaksional tidak dapat dihindari.
Lebih dari itu, revisi undang-undang ini diselesaikan dengan sangat cepat, tanpa partisipasi publik yang berarti, dan terkesan dipaksakan jelang pelantikan Prabowo sebagai presiden.
Dalam proses yang tidak transparan ini, apakah kebijakan ini sungguh-sungguh dirancang untuk kepentingan rakyat?
Baca juga: KJP Plus Oktober 2024 Kapan Cair ke Siswa? Ketahui Prediksinya
Tumpang Tindih Kebijakan dan Pemborosan Anggaran
Penambahan kementerian tanpa batas tak hanya berisiko meningkatkan KKN, tapi juga mengarah pada pembengkakan anggaran.
Mengelola kementerian dengan jumlah tak terbatas berarti memerlukan sumber daya manusia yang lebih banyak, anggaran operasional yang lebih besar, dan pengawasan yang lebih rumit.
Dengan demikian, anggaran negara yang seharusnya digunakan untuk program-program vital, seperti pendidikan dan kesehatan, berpotensi terkuras hanya untuk menutupi biaya operasional tambahan kementerian baru.
Di sisi lain, tumpang tindih kebijakan pun menjadi ancaman nyata. Semakin banyak kementerian yang mengurus urusan yang sama, semakin besar pula risiko kebijakan yang saling berbenturan.
Ini dapat memicu kebingungan di tingkat pelaksanaan dan memperlambat program-program penting yang seharusnya dapat langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Baca juga: 7 Barang Wajib di Tas Darurat Gempa: Siapkan Diri Anda dari Ancaman Megathrust!
Akankah Publik Diam?
Publik telah banyak yang meragukan keputusan ini. Dengan jumlah kementerian yang tak terbatas, masyarakat khawatir bahwa pengelolaan negara akan menjadi tidak efisien dan penuh dengan kepentingan politik.
Publik perlu mengajukan gugatan terhadap kebijakan ini jika merasa tidak ada transparansi dalam prosesnya.
Kesimpulannya, Prabowo bebas buat kementerian tanpa batas seharusnya ditinjau kembali secara kritis.
Tanpa kontrol yang jelas, keputusan ini hanya akan memperburuk tatanan pemerintahan dan membuka ruang bagi praktik-praktik yang tidak sehat dalam politik Indonesia.
Perlu ada pembatasan yang ketat untuk mencegah pembengkakan kekuasaan, dan menjaga agar pemerintahan tetap efektif dalam melayani rakyat, bukan sekadar melayani kepentingan politik kelompok tertentu.