Dailynesia.co – Pada tanggal 20 Oktober 2024, Prabowo dan Gibran resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk periode 2024-2029.
Dengan pelantikan ini, mereka memulai tugas besar yang telah diwariskan oleh Presiden Joko Widodo, dengan harapan untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Namun, penting bagi kita untuk tidak hanya merayakan pelantikan ini, tetapi juga mengawasi janji-janji yang mereka tawarkan.
Apakah janji-janji tersebut benar-benar akan diwujudkan, atau hanya menjadi retorika politik semata?
Baca juga: Jangan Tunggu Lagi! Vancouver Film School Buka Jalan untuk Sukses di Industri Film dan Game
Janji Makan Siang Gratis: Apakah Benar Akan Terpenuhi?
Salah satu janji besar yang diutarakan oleh Prabowo selama kampanyenya adalah program makan siang gratis bagi anak-anak Indonesia.
Program ini dijanjikan untuk memberikan makanan bergizi, terutama bagi anak-anak di daerah terpencil.
Dengan alokasi anggaran sebesar Rp71 triliun, program ini diharapkan dapat mencapai 15,42 juta anak.
Tetapi, apakah realisasi dari program ini akan sesuai dengan janji? Mengingat sejarah implementasi kebijakan sebelumnya yang kerap tersandung oleh birokrasi dan ketidakmampuan dalam distribusi, masyarakat harus tetap kritis.
Apalagi, masalah gizi buruk dan kekurangan nutrisi di Indonesia tidak hanya berkaitan dengan distribusi makanan, tetapi juga kesadaran masyarakat dan infrastruktur yang belum memadai.
Baca juga: Cara Cek Nilai Jual Kendaraan Bermotor Jawa Timur Terbaru, Tinggal Lewat HP
Ekonomi Tumbuh 8 Persen? Realistis atau Utopis?
Selain janji terkait nutrisi, Prabowo dan Gibran resmi dilantik dengan janji ambisius untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen.
Sebuah target yang, di atas kertas, terdengar sangat menggiurkan, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global. Namun, mari kita lihat kenyataan.
Apakah target ini benar-benar realistis, mengingat tantangan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia, seperti inflasi global, ketidakstabilan harga komoditas, serta ketergantungan yang besar pada impor bahan baku?
Jika hanya berfokus pada pertumbuhan angka, tanpa memperhatikan kualitas ekonomi yang inklusif dan merata, janji ini bisa saja berubah menjadi bumerang.