Dari sisi ekonomi, larangan ini menciptakan ketidakpastian bagi perusahaan yang menggunakan TikTok untuk pemasaran.
Beberapa analis menyebut situasi ini sebagai pukulan besar bagi bisnis digital. Selain itu, ByteDance kehilangan pangsa pasar besar yang telah membantu mendongkrak valuasinya secara global.
Baca juga: Jawa Timur Tanpa Pagar Laut: Komitmen Pemprov untuk Menjaga Kesejahteraan Nelayan
TikTok dan Pertarungan AS-China di Dunia Teknologi
Larangan TikTok juga memperlihatkan rivalitas yang semakin intens antara AS dan China di sektor teknologi.
TikTok, dengan algoritma canggihnya, dianggap sebagai ancaman bagi dominasi Silicon Valley.
Langkah ini menjadi sinyal kuat bahwa AS bersiap menghadapi China dalam apa yang disebut sebagai “Perang Dingin Teknologi”.
Namun, beberapa kritikus menyebut langkah ini sebagai bentuk proteksionisme terselubung.
Dengan memaksa TikTok dijual ke perusahaan AS, pemerintah AS dinilai mencoba mengontrol platform yang dianggap terlalu sukses di luar kendali mereka.
Baca juga: Siapa Pepijn Lijnders? Sosok Asal Belanda yang Dirumorkan jadi Dirtek Timnas
Antara Keamanan dan Kepentingan Politik
TikTok resmi tutup di AS, tetapi perdebatan tentang alasan di balik langkah ini tetap berlangsung.
Apakah ini benar-benar demi melindungi data warga Amerika, ataukah hanya taktik geopolitik untuk membendung pengaruh China?
Yang pasti, keputusan ini mencerminkan ketegangan antara keamanan, teknologi, dan kepentingan ekonomi global.
Di tengah pertarungan dua kekuatan besar ini, pengguna TikTok di AS kini harus mencari alternatif, sementara dunia menyaksikan drama baru di panggung teknologi global.
Akankah TikTok kembali, atau apakah ini menjadi akhir dari era dominasi aplikasi asal China di Amerika? Hanya waktu yang bisa menjawab.
