Dailynesia.co – Diskusi Diaspora dibubarkan oleh sejumlah preman yang diselenggarakan Forum Tanah Air (FTA) di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, berakhir kacau pada Sabtu pagi, 28 September 2024.
Sejumlah orang tak dikenal melakukan tindakan premanisme, merusak tempat acara dan mengintimidasi peserta.
Hal yang lebih mengkhawatirkan adalah sikap aparat kepolisian yang hanya berdiri diam menyaksikan tanpa bertindak. Insiden ini menjadi sinyal kuat bahwa kebebasan sipil semakin terancam.
Baca juga: 5 Mitos dan Fakta Tentang Utang yang Wajib Anda Ketahui
Pembiaran Aparat: Ketidakpedulian atau Ada Skenario Tertentu?
Mengapa aparat membiarkan Diskusi Diaspora dibubarkan secara anarkis? SETARA Institute menganggap pembiaran aparat adalah pelanggaran hak asasi manusia—“violation by omission”—dan menyoroti lemahnya perlindungan negara terhadap kebebasan berekspresi.
Sikap aparat ini menunjukkan ketidakpedulian terhadap hak dasar warga negara, atau mungkin lebih buruk: ada pihak yang ingin membungkam diskusi yang berlawanan dengan kepentingan tertentu.
Baca juga: Di Mana Lokasi Ujian SKD CPNS 2024? Begini Cara Mengetahuinya!
Diskusi Diaspora Dibubarkan: Peringatan untuk Kebebasan Berpendapat
Pembubaran paksa ini tidak hanya sekedar insiden biasa, melainkan alarm bahaya bagi kebebasan sipil.
Jika diskusi yang damai bisa dengan mudahnya dihancurkan dan aparat memilih untuk diam, apakah demokrasi masih memiliki ruang untuk bertahan?
Apa yang sebenarnya disembunyikan oleh pihak-pihak di balik pembiaran ini?
Baca juga: Guru Digital: Pahlawan Tanpa Jubah di Era Teknologi
Kritik Tajam terhadap Kepolisian dan Pemerintah
Komnas HAM dan SETARA Institute mendesak kepolisian untuk segera mengusut para pelaku pembubaran.
Namun, langkah ini terasa terlambat mengingat banyaknya kejadian serupa yang dibiarkan berlalu tanpa keadilan.
Pemerintah dan aparat harus bertanggung jawab untuk menjamin hak berpendapat setiap warga negara.
Premanisme yang dibiarkan hanya akan merusak fondasi demokrasi dan mengancam siapa saja yang ingin berpikir dan berbicara secara kritis.
Di Mana Posisi Pemerintah?
Apa yang kita saksikan dari pembiaran ini adalah gambaran rezim yang semakin surut dalam menghormati kebebasan dasar warganya.
Apakah ini cerminan dari sikap pemerintah yang tidak ingin adanya kritik terbuka?
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: siapa yang sebenarnya diuntungkan dari pembubaran diskusi seperti ini?
Diskusi Diaspora dibubarkan, sementara premanisme dibiarkan tumbuh subur. Ini adalah ironi besar dalam negara yang mengaku sebagai demokrasi.
Diskusi Dibubarkan, Kebebasan Dipertaruhkan
Diskusi Diaspora dibubarkan secara brutal, dan aparat hanya diam. Demokrasi tidak boleh diartikan sebagai sebuah formalitas belaka yang diklaim oleh rezim penguasa.
Ketika diskusi terbuka dibungkam, itu adalah tanda bahwa kebebasan sipil sedang dihancurkan.
Siapa yang bertanggung jawab atas ini? Dan lebih penting lagi, sampai kapan kita akan diam melihat premanisme mengendalikan ruang publik kita?