Dailynesia.co – Belakangan ini, publik dihebohkan dengan kontroversi produk bernama Tuyul dan Wine yang mendapatkan sertifikasi halal.
Di Indonesia, sertifikasi halal adalah jaminan yang memastikan bahwa produk tersebut sesuai dengan syariat Islam dan aman dikonsumsi.
Namun, nama-nama produk yang identik dengan makhluk gaib atau minuman beralkohol justru mendapat label halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama, yang menimbulkan kebingungan dan protes di kalangan masyarakat.
Baca juga: Tahapan Seleksi PPPK 2024 Terungkap, Salah Satunya Kompetensi
Kontroversi Produk Bernama Tuyul dan Wine yang Mengguncang Sertifikasi Halal
Nama produk seperti “Tuyul”, “Wine”, “Beer”, dan “Tuak” jelas bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam yang menjadi dasar pemberian sertifikasi halal.
Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, menyatakan bahwa penamaan produk tersebut seharusnya tidak dibenarkan.
Penetapan sertifikasi ini menimbulkan pertanyaan serius tentang ketelitian dan keseriusan pihak BPJPH dalam mengawasi proses sertifikasi halal.
MUI bahkan tidak bertanggung jawab atas klaim kehalalan produk tersebut, karena beberapa di antaranya melalui jalur self-declare tanpa audit dari Lembaga Pemeriksa Halal.
Selain itu, adanya produk dengan nama seperti “Wine” yang lolos sertifikasi menunjukkan kelemahan regulasi.
BPJPH beralasan bahwa kandungan produk tersebut sudah dipastikan halal, namun seharusnya bukan hanya soal kandungan, melainkan juga penamaan yang mencerminkan etika dan ajaran agama.
Aturan seperti Fatwa MUI Nomor 44 Tahun 2020 tentang penggunaan nama produk seharusnya menjadi pedoman untuk mencegah hal seperti ini terjadi.
Baca juga: Honorer Prioritas PPPK 2024? Periode Pertama Dibuka Awal Oktober
Perbedaan Pendapat di Antara Ulama
Kontroversi produk bernama Tuyul dan Wine juga menunjukkan adanya perbedaan pendapat antara Komisi Fatwa MUI dan Komite Fatwa Produk Halal terkait penamaan produk.
Komisi Fatwa MUI menolak penggunaan nama yang bertentangan dengan ajaran Islam, sementara Komite Fatwa Produk Halal justru memberikan sertifikasi kepada puluhan produk dengan nama serupa.
Adanya perbedaan pandangan ini semakin memperkeruh situasi dan menimbulkan ketidakpastian di masyarakat terkait standar halal yang seharusnya konsisten dan dapat dipercaya.
Masyarakat menginginkan ketegasan dalam standar halal, baik dari segi kandungan maupun penamaan produk.
Ketidakseragaman antara kedua lembaga ini memberikan ruang abu-abu dalam penetapan produk halal yang dapat berdampak negatif pada kepercayaan masyarakat terhadap proses sertifikasi halal.
Jika aturan penamaan produk ini tidak bisa ditegakkan dengan tegas, lalu bagaimana masyarakat bisa yakin bahwa setiap produk yang lolos sertifikasi benar-benar sesuai dengan nilai-nilai syariat?
Baca juga: Fintech P2P Lending Terdaftar OJK, Debitur Galbay Pinjaman Online
Tantangan Jalur Self-Declare
Salah satu aspek yang memicu kontroversi ini adalah penggunaan jalur self-declare oleh produsen dalam mendapatkan sertifikasi halal.
Sistem ini memang mempermudah pelaku usaha untuk memperoleh label halal, namun di sisi lain, membuka peluang untuk penyalahgunaan yang dapat mengaburkan standar halal yang berlaku.
Produk dengan nama-nama seperti “Tuyul” atau “Beer” mendapatkan sertifikasi halal tanpa melalui audit yang ketat oleh Lembaga Pemeriksa Halal, yang menjadi sinyal adanya celah dalam sistem.
MUI telah menyatakan bahwa pemberian sertifikat halal melalui jalur self-declare tanpa penetapan dari Komisi Fatwa MUI adalah pelanggaran terhadap standar yang berlaku.
Jika celah ini tidak segera diperbaiki, kita tidak hanya berbicara tentang produk dengan nama kontroversial yang lolos, tapi juga tentang kepercayaan masyarakat yang semakin terkikis terhadap jaminan kehalalan produk di Indonesia.
Baca juga: Elon Musk Mau Kembangkan Starlink di Vietnam Senilai Rp 227 Triliun
Ke Mana Arah Kebijakan Sertifikasi Halal?
Dalam situasi ini, peran BPJPH dan MUI sangat penting untuk duduk bersama dan menyamakan persepsi, seperti yang diutarakan oleh Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan JPH, Dzikro.
Namun, tidak cukup hanya dengan diskusi tanpa ada langkah nyata untuk memperbaiki sistem dan memastikan bahwa aturan yang ada benar-benar ditegakkan.
Kontroversi produk bernama Tuyul dan Wine menunjukkan perlunya peningkatan koordinasi antara BPJPH, MUI, ada produk-produk dengan nama kontroversial ini.
Terlepas dari kehalalan kandungan bahan-bdan lembaga terkait untuk menyusun standar yang lebih ketat dan tidak menimbulkan keraguan di masyarakat.
Keputusan yang memberi label halal kepahannya, bukan hanya mencerminkan kurangnya kepedulian terhadap nilai-nilai syariat, tetapi juga mencerminkan lemahnya penerapan kebijakan secara menyeluruh.