Tragedi Kanjuruhan menewaskan 135 orang dan melukai puluhan lainnya. Insiden ini dianggap sebagai salah satu tragedi terbesar dalam sejarah sepak bola dunia.
Namun, keputusan hukum yang menyusul tragedi ini justru memperburuk luka kolektif bangsa. Restitusi yang minim menegaskan ironi keadilan di negeri ini: korban dan keluarganya terus dirugikan, sementara pelaku seolah mendapatkan perlindungan hukum yang tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan.
Baca juga: Ibu Hamil Dapat Bansos PKH Januari 2025? Ini Syarat Penerima
Apa Arti Keadilan untuk Keluarga Korban?
Putusan ini memicu diskusi lebih luas tentang bagaimana sistem hukum di Indonesia menangani kasus-kasus besar yang melibatkan nyawa manusia.
Keluarga korban kini tidak hanya memperjuangkan kompensasi material, tetapi juga penghargaan terhadap nilai kemanusiaan.
Apakah keadilan hanya milik mereka yang memiliki kuasa? Atau, bisakah tangis dan kekecewaan keluarga korban menjadi pendorong reformasi hukum yang lebih manusiawi?
Restitusi Rp15 juta untuk korban Tragedi Kanjuruhan menjadi simbol lemahnya penghargaan terhadap nilai nyawa manusia dalam sistem hukum kita.
Tangis kecewa keluarga korban bukan hanya seruan akan keadilan, tetapi juga refleksi suram dari wajah hukum di Indonesia.