Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa program ini dapat menjadi alat birokrasi yang membatasi dakwah dari kalangan nonformal.
Zainut menekankan pentingnya pendekatan yang inklusif dan tidak wajib. “Para ustaz kampung dengan kemampuan mendalam tetap harus diberi ruang berdakwah,” ujarnya.
Program ini, menurutnya, harus lebih bersifat penguatan kapasitas dengan sasaran sukarela, bukan paksaan.
Baca juga: Cara Cek Live Score Seleksi PPPK 2024 di Youtube, Segera Pantau!
Pelajaran dari Kasus Gus Miftah: Etika dalam Dakwah
Kasus Gus Miftah menjadi pengingat bahwa juru dakwah memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga nilai-nilai keagamaan dan sosial.
Sebagai publik figur, ucapan mereka berdampak luas. Tindakan Gus Miftah, meskipun diikuti permintaan maaf dan pengunduran diri, telah menggores citra dakwah itu sendiri.
Substansi dakwah harus menjunjung tinggi etika dan menghormati semua golongan, termasuk mereka yang berprofesi sederhana seperti Sunhaji.
Kasus ini juga menyoroti pentingnya literasi digital bagi para juru dakwah, mengingat dampak viral dari media sosial.
Baca juga: Prediksi Indonesia vs Laos Piala AFF 12 Desember 2024, Incar Poin Penuh!
Masa Depan Dakwah Indonesia
Wacana sertifikasi juru dakwah membuka diskusi lebih luas tentang standar dan kompetensi dalam berdakwah.
Kemenag gagas sertifikasi juru dakwah, menghadapi tugas berat untuk merancang program yang tidak hanya relevan, tetapi juga adil.
Para juru dakwah diharapkan mampu mengadaptasi dakwah mereka untuk generasi digital tanpa melupakan akar etika dan nilai keagamaan.
Pertanyaan besar yang perlu dijawab adalah: Apakah sertifikasi ini solusi atau justru menambah masalah baru? Hanya waktu yang akan membuktikan efektivitas langkah ini.
