Situasi kemanusiaan di wilayah tersebut semakin memburuk akibat blokade yang memutus akses bantuan bagi warga sipil.
Dalam perjanjian gencatan senjata ini, kedua belah pihak sepakat untuk menghentikan serangan udara dan roket, memberikan waktu bagi komunitas internasional untuk menyalurkan bantuan darurat dan memulai proses rekonstruksi.
Langkah ini juga menjadi titik awal untuk pembicaraan damai lebih lanjut, meskipun masih dibayangi ketegangan dan ketidakpercayaan antara Israel dan kelompok bersenjata di Gaza.
Baca juga: Pemkab Garut Tambah Lahan Pangan Produktif, Seluas 371 Hektar Tahun 2025
Sejarah Pelanggaran Perjanjian: Akankah Israel Ingkar Lagi?
Sejak berdirinya Israel pada 1948, berbagai perjanjian damai telah disepakati. Sayangnya, banyak yang berujung pada pelanggaran.
Contoh nyata adalah Perjanjian Oslo yang disepakati pada 1993 dengan janji untuk mengakui hak Palestina.
Namun, pembangunan permukiman ilegal di wilayah Palestina terus berlanjut. Kini, dengan Perjanjian Gencatan Senjata Israel-Hamas yang baru saja diumumkan, kekhawatiran serupa mencuat: apakah Israel akan kembali mengingkari komitmennya?
Beberapa pengamat internasional menyebut perjanjian ini sebagai taktik untuk mengulur waktu sambil memperkuat militer di wilayah pendudukan.
Fakta bahwa blokade Gaza belum dicabut menunjukkan bahwa Israel belum sepenuhnya siap untuk memberikan hak dasar bagi rakyat Palestina.
Baca juga: Fakta Kebakaran di Los Angeles: Kebijakan Gagal, Alam Murka, atau Kombinasi Keduanya?
Dampak Perjanjian terhadap Gaza: Jeda atau Awal Baru?
Bagi warga Gaza, gencatan senjata bisa menjadi jeda dari kekerasan sehari-hari, tetapi belum tentu awal dari perdamaian.
Krisis kemanusiaan di wilayah tersebut tetap akut: listrik terbatas, air bersih langka, dan ribuan rumah hancur akibat serangan.